Google

Google

VIDEO

My Lovely Family

Enterobacter sakazakii

Enterobacter sakazakii (dibaca: enterobakter sakazaki-ai) benar-benar telah menjadi bintang pemberitaan media disamping mandegnya pembahasan RUU Pemilu dan musibah-musibah yang silih berganti. Pewartaan yang berturut-turut setiap hari hingga rekayasa tuntutan masyarakat agar mengumumkan nama-nama brand susu formula balita yang mengandung bakteri patogen, E. sakazakii, oleh media kepada tim peneliti IPB ini tentu akan menyeret dampak yang lebih besar.

Dampak pertama adalah matinya brand susu formula begitu diumumkan ke publik. Contoh ini telah banyak terjadi saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengumumkan bahwa sebuah produk tidak halal. Reaksi menghakimi yang dilakukan masyarakat tentunya akan menyebabkan brand susu yang disebutkan tersebut ditinggalkan untuk selamanya.

Padahal, hasil riset dari seluruh dunia mengatakan bahwa kontaminasi E. sakazakii dapat terjadi pada merek susu apapun yang kualitas produksinya mengalami kecacatan. Jadi bahasa mudahnya adalah: keberadaan E. sakazakii tidak terkait satu atau dua nama susu formula, tetapi lebih dikarenakan adanya kontaminasi sporadis dalam batch tertentu dalam taraf produksi. Setidaknya, inilah yang dapat disimpulkan dalam sebuah penelitian serupa setahun silam di UNSW, Sydney terhadap produk-produk susu formula di Australia.

Prevalensi kontaminasi E. sakazakii sehingga berkembang dan membahayakan konsumen menurut sebuah penelitian di Belanda adalah maksimum 6,5%. Dalam perhitungan ini, dibutuhkan waktu lima hari pasca produksi, sehingga susu yang tercemar satu sel hidup E sakazakii menjadi berbahaya untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Dampak kedua yang nyata terjadi adalah beralihnya masyarakat dari meminum susu. Dampak yang diperkirakan akan semakin meluas ini adalah akibat kurang berimbangnya pengetahuan yang diberikan kepada masyarakat bahwa E. sakazakii ini hanya berbahaya bagi balita dengan sistem imun lemah, lahir prematur, atau secara umumnya bayi dengan usia kelahiran 0-6 bulan. Bakteri inipun mudah mati apabila susu dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 85-100°C selama 1-2 menit sebelum dicampur dengan air dingin dan diberikan kepada balita bersangkutan. Secara umum, yang diberitakan oleh media adalah beralihnya sebagian masyarakat kepada akternatif-alternatif selain susu formula.

Alternatif susu formula, misalnya susu segar tetap harus dimasak sampai mendidih terlebih dahulu untuk menginaktivasi bakteri yang kandungannya boleh jadi lebih tinggi dibandingkan pada susu formula. Sebagai gambaran, susu segar dari sapi yang terkena mastitis (radang kelenjar susu) akan memiliki kandungan bakteri yang cukup (1 juta sel/g produk) untuk menyebabkan penyakit bagi manusia. Susu segar, bagi balita tertentu pun bisa berakibat kurang baik karena sebagian bayi menderita sensitif terhadap laktosa (lactose intolerance). Di lain sisi, susu segar yang disiapkan dengan baik, tentunya sehat dan bergizi sebagaimana layaknya susu formula. Alternatif menggunakan susu segar masih terbilang baik dibandingkan alternatif berikutnya.

Alternatif air tajin merupakan pilihan yang tidak dianjurkan. Kandungan protein, vitamin, mineral maupun gula sederhana yang dibutuhkan untuk perkembangan otak sang bayi tidak dapat ditemukan pada air tajin, selengkap yang ditemukan pada susu.

Dampak ketiga yang akan menyusul adalah bayi yang pertumbuhannya terganggu karena asupan gizinya yang kurang ideal. Sudah diketahui bahwa tidak semua tingkat ekonomi masyarakat yang mampu memberikan susu kepada bayi-bayi mereka. Munculnya pemberitaan ini akan menyebabkan semakin banyaknya kelompok masyarakat yang tidak memberikan susu, mampu ataupun tidak mampu. Tentu saja, perkembangan ini akan berbahaya bagi kelangsungan generasi penerus bangsa.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menghentikan kontroversi untuk menerima-tidak menerima hasil penelitian, sekalipun sebenarnya data-data yang telah diungkapkan tersebut sangat kuat karena didukung oleh fakta penelitan-penelitian yang dilakukan di seluruh dunia. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah edukatif terhadap warganya dengan menyiarkan cara menyiapkan susu yang sehat dan aman dari kontaminasi bakteri E. sakazakii. Pada saat yang sama, pemerintah mendesak industri untuk memperbaiki standar produksi susu formula termasuk dengan cara memasukkan E. sakazakii dalam proses Hazard Analisis Critical Control Point (HACCP) di tingkat produksi.

Bagi tim peneliti IPB tentunya ada saran khusus, yaitu membuat satu spot khusus di media eletronik ataupun cetak yang menjelaskan secara detil tentang hasil penelitian yang telah dilakukan, bahaya yang mungkin ditimbulkan, audiens yang potensial terdampak bahaya tersebut, serta cara pencegahannya. Apa yang sudah diberitakan dengan kurang tepat harus diluruskan. Inilah peranan saintis untuk menciptakan situasi yang lebih baik di negeri ini.

Kesimpulan:

1. Kontaminasi E. sakazakii menurut penelitian di seluruh dunia terjadi secara sporadis dan tidak terkait brand tertentu.
2. E. sakazakii berbahaya bagi bayi berusia 0-6 bulan, atau lahir prematur atau bayi dengan sistem imun yang rendah.
3. Mempersiapkan susu dengan cara merendam susu di dalam air panas (85-100°C) selama 1-2 menit sebelum dicampur dengan air dingin dan diberikan pada bayi sudah cukup untuk menonaktifkan bakteri tersebut.
4. Menghentikan asupan susu dan mencari alternatif lain, terutama air tajin, adalah solusi yang tidak dianjurkan, karena kandungan gizinya tidak selengkap susu segar ataupun susu formula.

IPB mempublikasikan hasil riset yang dilakukan atas industri susu formula di Indonesia pada tahun 2006-2007. Tim riset menyebutkan 20% dari sampel susu formula bayi terkontaminasi oleh Enterobacter sakazakii. Makanan bayi pun tidak luput dari kontaminasi bakteri ini, dengan memberikan angka 40% dari populasi sampel yang diteliti. Publikasi tim peneliti IPB ini mulai dirasakan efeknya setelah menjadi bintang pemberitaan beberapa hari terakhir di berbagai stasiun televisi di Indonesia. Pemberitaan ini tentunya semakin menambah kekhawatiran para ibu akan keselamatan bayi-bayi mereka, begitupun industri susu formula yang juga mulai merasakan dampak penurunan pembelian produk-produk mereka. Komunitas industri umumnya mempertanyakan kredibilitas dan rentang waktu penelitian. Penelitian tahun 2006/2007, menurut mereka kurang relevan dengan situasi industri sekarang dikarenakan sistem produksi yang juga berkembang.


Lalu, apa sebenarnya Enterobacter sakazakii?
Bakteri ini merupakan salah satu patogen yang pada tahun 1980 dipisahkan dari spesies Enterobacter cloacae, berdasarkan unsur genetik penyusunnya (Nazarowec-White dan Farber, 1997; Gurtler, 2005). Sebelumnya E. sakazakii dikenal dengan yellow-pigmented cloacae yang pertama kali dilaporkan oleh Pangalos (1929). E. Sakazakii dimasukkan dalam tren perkembangan patogen dunia sejak tahun 2005 dan banyak diulas oleh para peneliti dari seluruh dunia (Skovgaard, 2007). E. sakazakii menjadi perhatian karena tingkat mortalitas yang tinggi (40-80%) pada bayi yang baru lahir (0-6 bulan), terutama sekali bayi prematur atau yang memiliki imunitas lebih rendah dari rata-rata bayi-bayi lainnya (Iversen dan Forsythe, 2003).


Ekologi E. sakazakii
Sebagaimana genus Enterobacter lainnya, E. sakazakii merupakan bakteri yang berkoloni di dalam saluran pencernaan manusia dewasa (Iversen, Druggan, dan Forsythe, 2004). Spesies Enterobacter ini dapat ditemukan di produk pangan lain selain susu formula: keju, daging, sayuran, biji-bijian, kondimen dan bumbu-bumbuan (Iversen dan Forsythe, 2003; Kim et al, 2008; Fridemann, 2007). E. sakazakii berkembangan optimal pada kisaran suhu 30-40°C. Waktu regenerasi bakteri ini terjadi setiap 40 menit jika diinkubasi pada suhu 23°C, yang tentunya akan sedikit lebih cepat pada suhu optimum pertumbuhannya. Menurut Havelaar dan Zweitering (2004), kontaminasi satu koloni E. Sakazakii memiliki peluang hidup maksimum sebesar 6.5% untuk dapat berkembang hingga mencapai jumlah yang signifikan (1 juta sel/g produk) dalam waktu maksimal 100 jam pada suhu 18-37°C. Artinya, apabila 1 sel hidup E. sakazakii mengkontaminasi produk susu formula pada proses produksi. Hanya dalam 5 hari, produk tersebut telah menjadi sangat berbahaya bagi bayi. Angka probabilitas ini agaknya ditunjang dengan fakta hasil riset di seluruh dunia, tidak hanya yang dipublikasikan tim riset IPB, yaitu pada kisaran 20% (Iversen dan Forsythe, 2003; Kim et al, 2008). Selain bersifat invasif, E. sakazakii juga memproduksi toksin (endotoxin) yang juga berbahaya bagi mamalia yang baru lahir dan belum memiliki sistem kekebalan yang baik (Townsend et al, 2007).


Permasalahan pada produk susu formula
Keberadaan E. sakazakii ini di produk susu formula menjadi mencuat dan menjadi medium kontaminasi yang dominan karena produk ini pada umumnya dikenal sebagai produk yang aman untuk langsung dikonsumsi bayi tanpa memerlukan pemrosesan lebih lanjut. Asumsi-asumsi inilah yang sebenarnya harus ditilik kembali (Kandhal et al, 2004).
Dalam hal proses produksi, bagaimana Enterobacter sakazakii dapat sampai pada produk susu formula yang disiapkan secara aseptik masih terus diteliti. Ada kecurigaan bahwa bakteri ini bersifat airborne (mengkontaminasi lewat udara) pada industri susu dan rumah tangga (Kandhal et al, 2004), sehingga diperlukan penanganan tambahan terhadap bakteri ini dalam mekanisme Hazard Analysis Critical Control Point (analisis titik penanganan kritis pada bahaya) di tingkat produksi susu formula.
Di tingkat pengguna rumahan, susu bayi pada umumnya disiapkan dengan proses yang minim pemanasan. Dalam hal ini, susu bayi biasanya hanya dicampur air hangat panas-panas kuku (suhu < 70°C), yang tidak cukup untuk mematikan bakteri ini.
Susu bubuk disimpan dalam kaleng, ataupun plastik multi-lapisan pada suhu ruangan (20-27°C) untuk konsumsi hanya 1-4 hari, diasumsikan relatif aman karena kadar airnya yang rendah. Kenyataannya, dalam waktu relatif singkat, bakteri ini mampu menduplikasikan dirinya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Penyimpanan pada suhu dingin merupakan hal yang tidak umum pada produk susu bubuk, begitu pula penggunaan sanitizer yang tidak dimungkinkan. Padahal, pertumbuhan E. sakazakii dilaporkan dapat direduksi dengan penggunaan sanitizer pada produk buah-buahan, apalagi diikuti dengan penyimpanan pada suhu dingin (Kim, Ryu, dan Buechat, 2006).Akibatnya, Enterobakter sakazakii dalam jumlah cukup untuk menyebabkan penyakit (1 juta sel/g produk) pun dikonsumsi oleh bayi kita.



Yang perlu diperhatikan oleh masyarakat adalah:
1.Kontaminasi Enterobacter sakazakii berbahaya bagi bayi usia 0-6 bulan dan merupakan ancaman bagi bayi pada usia 6-12 bulan, terutama bayi lahir prematur atau bayi dengan daya tahan rendah.
2.Tidak perlu cemas karena keberadaan E. sakazakii di dunia dan di Indonesia hanya berada pada kisaran rendah (20%) dari populasi produk susu formula, dapat ditemukan secara sporadis, tidak tergantung dari brand produk tersebut.
3.E. sakazaki banyak pula ditemukan pada produk lainnya seperti keju, daging, hingga sayuran.


Saran yang dapat diikuti:
Saat ini, E. sakazakii masih menjadi tema penelitian intensif di dunia. Penulis ingat dengan seorang kolega yang melalukan riset kontaminasi patogen ini pada produk susu asal Australia saat berada di University of New South Wales, Sydney. Proses produksi yang ada umumnya belum mengadopsi keberadaan bakteri ini, sehingga dikemudian hari, inilah yang akan dikembangkan oleh para peneliti bekerjasama dengan industri susu formula. Adapun saran pencegahan yang saat ini dapat dilakukan, yaitu:

Bagi pengguna rumahan:
1.Bila sebelumnya susu bayi cukup dicampur dengan air hangat, maka sekarang cobalah untuk merendam susu bubuk dengan air panas (85-100°C) selama 1-2 menit sebelum ditambahkan air dingin untuk mereduksi jumlah koloni hidup bakteri.
2.Tidak menggunakan produk susu bubuk yang kemasannya telah terbuka cukup lama (lebih dari 8 hari) atau dibeli dalam kemasan yang sudah tidak baik atau bocor.

3.Simpanlah susu bubuk yang telah dibuka kemasannya di dalam lemari pendingin (suhu <5°C) untuk mencegah pertumbuhan mikroba, bukan hanya E. sakazakii.

4.Cucilah bahan makanan yang biasa dimakan mentah dengan sanitiser, bukan hanya air mengalir, untuk mereduksi kontaminasi mikroba pada bahan pangan tersebut.

5.Konsultasikan dengan dokter/tenaga medis terhadap penggunaan susu formula bagi bayi berusia 0-6 bulan, terutama sekali bayi lahir prematur atau yang memiliki daya tahan lemah.

6.Waspada terhadap gejala demam dan diare yang merupakan indikasi infeksi, apapun mikroorganismenya, bukan hanya E. sakazakii.

Bagi industri:
1. Melakukan evaluasi terhadap proses produksi susu formula bayi secara menyeluruh. Hal ini dimungkinkan dengan memasukkan E. sakazakii dalam sistem monitoring, terutama HACCP yang telah ada.

Apa yang terjadi di Indonesia, sebenarnya terjadi pula secara global. Ekspose kontaminasi E. sakazakii pada produk makanan bayi dan susu formula dilakukan oleh Tim Peneliti di IPB hanya merupakan bagian kecil dari riset serupa di seluruh dunia. Semua tentunya dengan asumsi: menciptakan dunia yang lebih baik untuk kita semua di masa yang akan datang. Semoga dengan perkembangan ilmu mikrobiologi, kita akan semakin mengerti dan mampu mencegah patogen-patogen berbahaya dikonsumsi oleh umat manusia. Viva ilmu mikrobiologi.

Tidak ada komentar: